Pages

CerpenRomance : Monarue

Senin, 12 September 2016

(1/1) story 
created by Felisia Apriliantini 



"Rian, Tasya meninggal.." 

Rian terdiam sesaat. Darahnya terasa membeku tak berdesir lagi. Ia tak merasakan kehangatan darahnya mendengar kabar itu-- Tasya meninggal

"Pihak angkasa pura baru saja menghubungi Ibu. Mereka bilang Tasya ada di dalam pesawat itu.. Penerbangan menuju Singapura pagi tadi." lanjut Ibu dengan suara lirih menahan isak. 

Rian mengangguk. Kepalanya ia tengadahkan sementara matanya memeram. 

"Rian, jenazah Tasya akan di antarkan tengah hari nanti. Kemungkinan tiba di rumah malam hari." Ibu mencoba mempertegas suaranya. 

Rian mengepal tangannya. Seandainya ia bisa lebih cepat meminang kekasihnya, mungkin tidak seperti ini kejadiannya. Seandainya saja ia menolak menghadiri seminar sebulan yang lalu, mungkin pernikahan mereka sudah terberkati bulan lalu sehingga Tasya tidak perlu bekerja lagi sebagai pramugari dan tentunya..- Rian tidak mendapatkan kabar buruk hari ini tentang kekasihnya. 

"Monarue," ia ingat kata-kata itu. Sepatah kata yang menjadi perjanjian antara ia dan Tasya. Terakhir sebelum berangkat, Tasya menyebut itu-- Tasya akan selalu merindukan Rian karena Tasya selalu mencintai Rian.

Rian terpaksa mematikan sambungan telepon dengan Ibu. Ia linglung harus berkata apa. Ia kalah telak dengan Ibu yang berusaha mempertegas hatinya kehilangan Tasya sedangkan ia, rasanya seperti ingin mati.

Pantas. Rian berusaha mengingat sesuatu yang ganjal. Pantas saja Tasya bercanda demikian pasti Tasya sudah berfirasat, "Kalau kita gak jadi nikah, kamu balikan aja ya sama Kak Uki." Rian yang merasa itu hanya candaan menelak, "Kalau kita gak jadi nikah, ya aku gak nikahlah." Sahut Rian waktu itu. Tasya tertawa dan menyahut, "Emangnya kamu mau jadi bujangan tua?" 

Tak hanya itu, Rian berusaha mengingat keras keganjalan lainnya. Ya sewaktu itu-- dua hari sebelum kecelakaan pesawat, Tasya berkata bahwa ia ingin pergi ke tempat yang paling jauh. Tasya pun sempat mengeluh karena rutenya sebatas Singapore-Hongkong-Perancis-Korea Selatan. 

**** 

Malam ini rumah keluarga Punan Harmanto sudah dipenuhi pelayat. Rian sudah menemui sekitar 30 orang teman satu karier Tasya ketika di luar tadi. Kini kakinya sudah menginjak porselen rumah itu. Kakinya terasa dingin, keram. Rasanya ia ingin menjatuhkan diri melihat Tasya sudah terbaringkan di dalam peti putih. Tasya mengenakan dress putih dengan lipstick glossy berwarna merah di bibirnya. Rian tak menyangka, malaikatnya telah pulang ke negeri awan. 

"Rian." 

Punan Harmanto menyadari kehadiran calon menantunya. Punan menepuk pundak Rian. 

"Maafkan.." Kali ini Punan tertunduk, ia tak mampu membendung airmatanya putri satu-satunya kini meninggalkannya. Punan tinggal menua bersama isterinya padahal ia mendamba pernikahan putrinya yang akan dilaksanakan sebulan lagi dan mereka sudah membayangkan bagaimana menimang cucu mereka nanti. Namun ekspetasi itu kini pupus. 

"Maafkan Tasya. Kalian tidak jadi menikah." lanjut Punan. 

Rian menggeleng, menahan sekuat mungkin tenaganya.
"Tasya tidak salah. Seandainya saya tidak pergi ke seminar itu, mungkin kamu sudah menikah meskipun dalam pemberkatan pernikahan yang sederhana. Saya salah, saya terlalu mendambakan pernikahan dengan resepsi yang mewah.." 

"...sehingga saya mengejar seminar itu semata ingin mendapatkan rejeki lebih untuk pernikahan kami."
Punan memeluk calon menantunya. Ia mengelus punggung menantunya.

"Rian, kami tidak masalah bila nantinya kamu menemukan kekasih baru. Kami malah ingin secepatnya kamu mendapatkan calon pendamping hidup yang baru setelah Tasya gagal menjadi pendamping hidup kamu.." 

Punan melepaskan pelukannya. Bukan ini sebenarnya harapannya, yang ia inginkan adalah menghantarkan putrinya ke depan altar untuk pemberkatan pernikahan bukannya menghantar putrinya ke depan altar untuk pemberkatan jenazah. 

"Saya tidak akan menikah, pak." Tegas Rian penuh wibawa. Ia sudah berjanji tidak akan menikah jika bukan dengan Tasya. Rian tidak peduli dengan lawakan Tasya yang menitahkan bahwa ketika mereka batal menikah, Rian harus kembali kepada Uki, mantan kekasihnya. 

Setelah Punan meninggalkan Rian, Rian melangkahkan kakinya menuju ke samping peti Tasya. Ia membuka kain putih yang menutupi atas peti Tasya. 

Tangan Rian mengelus rambut Tasya yang tergurai. Rambut hitamnya begitu pekat. Rian tak bisa lagi menatap lekat bola mata hitam Tasya. 

"Rian." Kali ini Ibu memanggilnya. Rian menyambut tangan wanita paruh baya itu. Wanita itu sudah tak kuat berdiri di mana usianya yang menginjak 56 tahun. Ibu sudah terlalu tua dan Bapak begitu pula. Puan dan Maharaya menantikan pernikahan putrinya tapi rupanya takdir Tuhan berkata lain, Tuhan menjemput putrinya sebelum hari pernikahan tiba. 

"Seorang kerabat kami menemukan ini di laci lemari Tasya setelah mereka tengah mencoba merapikan kamar Tasya." Maharaya memberikan sepucuk amplop merah. Rian merobek amplop itu dengan hati-hati. 

Monarue.
Dear kekasihku teramat kucinta, Rian Malewis.
Entah ada peristiwa apa setelah kau membaca surat ini.. Aku mendapat firasat aneh. Meskipun begitu sebenarnya aku tak ingin gegabah menanggapi firasat ini. Hm barangkali hanya firasat? Tapi tak masalah bukan menulis surat ini? Perasaanku dalam tingkat waspada. Aku merasa was-was beberapa hari ini. Aku risih menanggapi firasat yang menganjal bahwa aku akan meninggalkan kamu. Aku tak tahu bila aku benar-benar meninggalkan kamu lewat cara apapun itu.. Aku ingin kamu melihat aku dan memberi aku senyuman manismu itu ketika aku terbaring di peti jenazah. Entah kapan waktunya. Yang pasti kuharap kapan waktunya itu setelah kita hidup berdua sepenuhnya kamu menjadi milik aku dan aku menjadi milik kamu. Ah ya, barangkali surat ini bisa jadi ancaman. Di hari pernikahan kita, aku ingin mengenakan gaun putih dengan sayap di belakangnya karena aku adalah malaikat, aku adalah peri.
Monarue,
Tasya akan selalu merindukan Rian karena Tasya akan selalu mencintai Rian.
"Mari terbang bersama."

Kabar buruk datang di hari ketiga setelah meninggalnya Tasya, Rian meninggal. Rian celaka malam itu. Tepat setelah pulang dari rumah Tasya sehabis acara doa 3 hari arwah Tasya.



-selesai- 


 


 

Satu kenangan lagi (masih tentang kita)

Kamis, 07 Januari 2016

Kita adalah serpihan apa saja dahulunya—entah beling atau kertas putih yang ronyok karenanya. Lalu menyelinap disudut ruang. Kita adalah wayangnya Tuhan tapi dikendalikan oleh dunia.
Kita adalah bunga-bunga liar dari hamparan bunga di antaranya ; sedang merekahnya. Menjabat tiap kaki yang melewati hamparan karpet hijau –di depan kita.
Siapa saja di antara kita; aku atau kamu tentu punya kisah yang terlampau sendunya hanya bagai kertas putih kusut—coba terka!
Tidak! Jangan! Jangan hilang ditelan gelapnya malam  tetap penuhi selaput kota yang mendambakanmu selama lamanya—tetap disini jadikan yang fana sebagai yang abadi lalu tentunya kita entah kamu atau saya akan menang atau bisa saja kita seri; tentang sejati-nya.

Lalu teringatku
Pada sabtu malam itu, kau bercanda manis
Memeluk tubuh wanita-mu
Kemudian jari-jari kita saling menyelinap di antara-nya
Mari menari di atas hujan
Melupakan masa lalu kita
yang terlalu kelam dalamnya

Maka, sejati-lah cerita kita

Terima kasih, kekasihku!

Pontianak, 8 Januari 2016
10:35 WIB
Lama tak bersua di atas sofa, berdua menguruti permasalahan lalu.
Aku mengeluhkan tak satu dua permasalahan hidup
Dan kau menapik keluhku
Paling tidak dengan mengingatkan masih ada yang lebih merasakan dari apa yang kukeluhkan
Aku begitu beruntung

Bagaimana aku bisa begitu saja lupa pada kekasihku yang ini?
Yang tak hanya mengatakan "sabar" pada keluhanku
Yang bukan hanya menjadi pendengar yang baik tapi menjadi jugalah ia sebagai pembicara yang baik
Aku begitu beruntung

Kita melewatkan ini--
Aku menyiksa diri tentu menyiksa kau juga dengan perkataanku
Seperti ancaman anak kecil yang belum sekolah
Huh aku mengeluh lagi pada kesalahanku

Seharusnya aku harus lebih mampu lagi
Bersabar, menyadari, dan mengerti
Bagaimana kamu mempersiapkan diri untuk masa depanmu?
Yang kamu prioritaskan utama
Harusnya aku menyadari
Aku tentu ada didaftar prioritas yang ingin kamu capai
Meskipun bukan prioritas no.1

Aku begitu beruntung
Kalaupun nanti kau akan pergi
entah untuk apa atau siapa
Seharusnya aku tetap tersenyum manis untukmu dan tidak merengek waktu itu
Seharusnya aku tetap mendukungmu
Tetap menjadi pendengar yang baik, untuk ceritamu
Karena suatu saat pun, kemenanganmu akan menghantarkan kita pada awal cerita yang baru
Tentang kerja kerasmu dan tentang kesabaranku
Andai saja aku tak egois
Andai saja aku tak memikirkan rasa sakitku saja
Harusnya aku lebih ekstra bersabar
Harusnya aku menyadari kamu memang berbeda
Terima kasih untuk kehadiran dan memilihku diantara masih banyak kemungkinan yang lebih baik untukmu..


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS